Ormas Betawi dan Wajah Betawi Milenium

Dalam buku Babad Tanah Betawi, Ridwan Saidi sang penulis buku tersebut, “mengklaim” bahwa nenek moyang orang Betawi adalah Aki Tirem atau  Sang Aki Luhur Mulya, seorang penghulu kampung yang  tinggal di pinggiran Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk.

Aki Tirem sebagaimana yang tercatat dalam Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Parwa 1, Sarga 1, adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga Putera Nyai Sariti Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam
di swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda, ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka. Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.

Setelah menikahkan anaknya Pohaci Larasati dengan sorang pangeran pelarian dari India yang berilmu tinggi, Dewawarman, maka keturunan Aki tirem inilah yang oleh Ridwan Saidi disebut sebagai manusia proto betawi. dan terus berkembang sampai sekarang sebagai etnis yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Baca pos ini lebih lanjut

Pembinaan Kesenian Tradisional: Revitalisasi Budaya

Pemerintah DKI Jakarta sudah tentu sangat berkepentingan dengan keberadaan kesenian tradisional Betawi. Dalam hal ini, melalui berbagai cara telah ditempuh usaha-usaha mempertahankan dan memelihara kesenian itu. SM Ardan, misalnya, telah mempelopori masuknya kesenian Lenong untuk berpentas secara rutin di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1970-an, anjungan DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah memfasilitasi pertunjukan kesenian tradisional Betawi sejak didirikan hingga kini, Kampung Betawi di kawasan Srengseng Sawah dijadikan semacam laboratorium budaya Betawi.

Di kalangan non-pemerintah kita mengenal Lembaga Kebudayaan Betawi yang secara substansial bertugas melakukan kajian-kajian dan apresiasi terhadap berbagai khazanah budaya Betawi. Kini, penerbit Komunitas Bambu secara terencana menerbitkan buku-buku tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Betawi dan Jakarta berdasarkan riset para peneliti yang mempunyai perhatian terhadap Betawi. Semua pihak itu telah menunjukkan perhatian dan apesiasinya terhadap masyarakat dan budaya Betawi. Akan tetapi, di sisi lain kehidupan para seniman tradisional Betawi masih kurang diperhatikan dengan baik dan tidak adanya upaya pemaksimalan kreativitasnya secara terprogram dan terpadu.

Baca pos ini lebih lanjut

Menggugat Ajakan Boikot Media

Setelah memberikan cap semacam “gagak hitam” kepada tokoh lintas agama, kini Sekretaris Kabinet Dipo Alam memerintahkan pejabat pemerintah memboikot media yang beritanya menjelek-jelekkan pemerintah.

Sikap ini harus dikaji serius karena di era demokrasi bersama media justru tak ada lagi yang lebih menjelekkan citra pemerintah daripada pernyataan serupa ini!

Pertama, kita mesti bertanya apakah Seskab memerintahkan hal tersebut sepengetahuan (struktural) Pak Beye sebagai Presiden. Kalau demikian, artinya Pak Beye memang satu visi dengan Seskab. Atau jangan-jangan Pak Beye tidak tahu-menahu. Paling-paling nanti kalau ada akibat negatifnya, ya seperti biasa, Pak Beye yang menanggungnya.

Di banyak negara dalam keadaan normal, jarang sekali ungkapan seeksplisit itu dikeluarkan oleh pejabat tinggi. Bahkan oleh calon pejabat sekalipun. Lihatlah betapa bencinya George Bush (Jr) pada jurnalis Adam Clymer yang sangat kritis kepadanya.

Saat berkampanye, tanpa sadar ia berbisik kepada calon wakilnya, Dick Cheney: “Tuh di sana ada Adam Clymer, major league; dari New York Times.” Bush menyesal ketika tahu bahwa ternyata bisikannya masih bisa tertangkap alat audio yang ada di sekitar.

Baca pos ini lebih lanjut

Kasus Temanggung, Siapa Sebenarnya Sang Provokator?

Antonius Pendeta Provokator

Kasus kekerasan di Temanggung yang dilakukan oleh umat Islam sebenarnya memiliki akar masalah yang sangat serius, yaitu penistaan Islam sebagai agama. Hal ini terungkap dalam sidang kasus penistaan agama Islam yang digelar di PN Temanggung, pada Kamis 27 januari 20011. Di agenda sidang ke tiga berupa keterangan para saksi dan pemeriksaan terhadap terdakwa penistaan agama. Menurut keterangan terdakwa yang  bernama Antonius Rehmon, 50 dirinya melakukan aksi tersebut dengan cara menyebarkan buku-buku dan selebaran yang berisi penghinaan terhadap agama Islam. Hal senada diungkapkan oleh para saksi , Bambang, 40 dan Sriyati, 35 ditambah keterangan seorang saksi ahli bernama Muhammad Faizin, 63 (MUI Temanggung).

Menurut keterangan saksi ahli, pelaku telah melakukan penistaan terhadap agama Islam dalam selebaran dan buku-buku yang sengaja pelaku sebarkan. saksi ahli mengungkapkan ada sedikitnya 12 poin penistaan yang terdapat pada buku-buku dan selebaran yang disebarkan oleh pelaku antonius. dan diantara poin yang diungkap dalam persidangan adalah:

Baca pos ini lebih lanjut

Iman Kelas VIP, Bisnis, Ekonomi, dan Kambing

Bukan hanya sekolah yang memiliki kelas. Bukan juga cuma kereta api atau pesawat terbang. Juga bukan cuma masyarakat sosial yang punya strata, tetapi keimanan seseorang kepada Tuhan pun memiliki klasifikasi tersendiri. Dan ini pernah diutarakan oleh Nabi SAW serta para sahabat dan tabiin.
Mungkin sebagian kita telah paham akan hadits klasifikasi iman, namun di sini kita akan menyoroti tingkatan atau kelas keimanan melalui kacamata yg berbeda tapi tidak keluar dari substansi.
Ada empat kelas tingkat keimanan (menurut saya, loh), yaitu kelas VIP, kelas Bisnis, kelas Ekonomi, dan kelas Kambing. Keimanan kelas VIP ini hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar yakin 100% kepada ketetapan Tuhan. Mereka ini adalah orang-orang yang ikhlas dalam menjalankan perintah Tuhan tanpa sedikit pun ada rasa pamrih. Keimanan kelas VIP ini telah menanamkan sikap zuhud terhadap dunia. Zuhud dalam arti sebenarnya, bukan zuhud yang mengasingkan diri atau eskapis dari kondisi sosial.
Jika dalam keadaan berharta dan ada panggilan Tuhan untuk berjihad dengan harta, iman VIP ini akan langsung memberikan seluruh hartanya untuk kepentingan agama Alloh dengan menyisakan secukupnya untuk keluarga. Mereka bukan tidak memikirkan masa depan, namun masa depan buat mereka adalah kehidupan akhirat, bukan dunia. Sedang masa depan keluarganya diserahkan seluruhnya kepada Tuhan.
Begitulah iman kelas VIP. Mereka beramal tanpa perhitungan kepada Tuhan. Yang mereka kejar hanya satu: keridhoan Tuhan. Bukan atas kalkulasi pahala atau balasan syurga.

Baca pos ini lebih lanjut

Optimalisasi Kawasan Thamrin

SEBAGAI jalan utama Kota Jakarta, keberadaan Jalan MH Thamrin tidaklah semegah fungsi yang disandangnya. Kehadiran ruang pejalan kaki yang lebih manusiawi dan aman di sepanjang kedua sisi Jalan MH Thamrin masih tetap menjadi mimpi bagi warga Jakarta.

PEDESTRIAN atau ruang pejalan kaki merupakan salah satu urat nadi bagi sebuah kota. Ketidaknyamanan pedestrian yang seharusnya disediakan pemerintah setempat sudah cukup menggambarkan (penguasa) kota tidak berpihak kepada warga kotanya. Pedestrian yang merupakan salah satu bagian dari ruang jalan juga berfungsi sebagai ruang terbuka umum yang dapat menaikkan citra bagi kawasan kota.

Sudah banyak contoh kota di dunia yang memiliki ruang pejalan kaki cukup lebar, nyaman dilalui, dan aman dari gangguan maupun tindak kekerasan. Seperti Kota Paris dengan Champs Elysees dan Singapura dengan Orchard Road. Bahkan, Kota Jakarta pun sudah memiliki satu contoh yaitu di kawasan bisnis terpadu Mega Kuningan, tetapi hebatnya hal itu dilakukan pihak swasta.

Baca pos ini lebih lanjut

Harap Maklum dan Indahkan, Inti Sinergitas sebuah Gerakan

Bicara soal organisasi, maju tidaknya sebuah organisasi, setidaknya dapat kita lihat dari 5 (lima) faktor sebagai tolak ukur awal. Pertama, leadership sang Ketua. Kedua, kemampuan menejerial atau motor penggerak organisasi yang menjadi tanggung jawab Sekretaris. Ketiga, transparansi dana yang dipegang Bendahara. Keempat, dukungan penuh dari anggota yang ada. Dan kelima, kunci keberhasilannya tentu saja terletak pada sinerjitas (kekompokan) dari elemen yang ada. Mulai dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Ketua Departemen/Seksi, anggota dan simpatisan yang masing-masing paham dengan tugas yang diemban sehingga mampu berpikir secara proposional dan bekerja secara profesional sesuai dengan jabatan yang disandangnya.

ORANG Betawi (ape tokoh Betawi?) lagi doyan-doyannya berorganisasi. Kurang percaya? Tengok aja daftar Ormas Betawi yang bernaung di BAMUS Betawi. Lebih dari 100 Ormas Betawi, cing! Itu belum ditambah ama Ormas Betawi yang kagak daftar ke BAMUS Betawi. Kalo kita jumlain, Ormas Betawi yang ada di Tanah Betawi yang kini bernama Jakarta jumlahnya emang bejibun. Buanyak banget! Cuman sayangnya, dari bejibunnya Ormas Betawi yang ada, yang aktif bergerak dan kelihatan dinamikanya gak lebih dari jumlah jari tangan kita yang sebelah kanan, atau sebelah kiri.

Tragis? Itu realitanya. Makanya, gak berlebihan kalau ada seorang tokoh muda Betawi yang berpendapat; orang Betawi emang pandai membuat organisasi, tetapi tidak pandai menata dan membuat jaringan. Buktinya, cuma ada sedikit Ormas Betawi yang aktif bergerak dan kelihatan dinamikanya itu pun berjalan pada rel masing-masing. Tanpa ada sinergitas dan jaringan yang kuat. Yang ada pan malah ribut melulu lantaran berebut lahan parkir! Eit, kepala boleh aja panas, tetapi hati kudu tetap dingin.

Dari realitas di atas timbul pertanyaan; bagaimana agar Ormas Betawi yang ada –baik berpayung atau tidak di BAMUS Betawi—dapat bergerak optimal dalam merealisasikan visi misinya yang berarti juga berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara? Langkah awal yang patut kita lakukan, apapun jabatan dan posisi kita dalam ormas yang kita geluti, adalah mengkaji ulang dengan penuh kejujuran apa motivasi awal kita sehingga kita mau aktif bergelut dalam ormas tersebut. Benar-benar aktif karena ingin menjadi bagian dari gerakan besar dan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat kaum Betawi, atau cuma menjadikan ormas tersebut sebagai kendaraan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau menggapai cita-cita pribadi?

Baca pos ini lebih lanjut

Mengatasi Kemacetan di Kota Jakarta

Jakarta adalah kota yang super macet. Sebagai contoh dari Thamrin ke Otista yang jaraknya hanya sekitar 13 km perjalanan dengan kendaraan mobil bisa mencapai 2 jam lebih. Bahkan kalau hujan bisa 3 jam lebih. Kalau anda bekerja di Jakarta dan rumah jauh di pinggiran, anda bisa menghabiskan waktu 3-5 jam lebih di jalan.

Ada beberapa faktor penyebab macet di Jakarta:

  1. Waktu lampu hijau yang begitu cepat. Sering baru 4-5 mobil yang berjalan lampu sudah kembali merah. Padahal antrian bisa mencapai 1 km atau sekitar 200 mobil. Untuk hal ini mungkin solusinya adalah memperpanjang waktu lampu hijau di tiap tempat jadi 1,5 atau 2 menit. Contoh kemacetan ini adalah di lampu merah pertigaan jalan Otista III dengan Otista Raya.
  2. Banyaknya kendaraan angkutan (terutama mikrolet dan metromini) yang berhenti menunggu penumpang. Nah ini perlu kesiagaan polantas untuk mengatur mereka. Contohnya adalah di dekat terminal Kampung Melayu Baca pos ini lebih lanjut